Kasus ini bermula ketika Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Hakim Mahkamah Konstitusi Arsul Sani ke Bareskrim Polri. Karena menduga bahwa Arsul memakai ijazah doktor palsu. Laporan itu di ajukan dengan membawa sejumlah bahan. Terlebih yang menurut pelapor menunjukkan adanya kejanggalan pada gelar doktor. Dan yang di peroleh Arsul dari sebuah universitas di Polandia. Mereka mengutip pemberitaan luar negeri serta temuan yang menurut mereka perlu di verifikasi oleh aparat penegak hukum. Di sinilah laporan pidana di mulai: pelapor meminta Bareskrim menyelidiki dugaan pemalsuan dokumen pendidikan. Kemudian yang melekat pada jabatan seorang hakim konstitusi. Di sisi lain, ia sendiri memilih untuk tidak menempuh jalur hukum balik terhadap para penuduhnya. Ia menyampaikan bahwa sebagai hakim konstitusi. Dan juga dengan adanya batasan etika yang membuatnya tidak bisa serta‐merta menghadapi tudingan dengan laporan pidana.
Isu Ijazah Palsu: Arsul Sani Putuskan Tidak Ke Bareskrim Yang Jadi Kebijakannya
Kemudian juga masih membahas Isu Ijazah Palsu: Arsul Sani Putuskan Tidak Ke Bareskrim Yang Jadi Kebijakannya. Dan fakta lainnya adalah:
Respon Arsul Sani
Sosok satu ini menanggapi tuduhan ijazah doktor palsu dengan sikap yang relatif tenang. Dan juga yang tidak langsung berkonfrontasi secara hukum (pidana). Ia menyatakan bahwa isu tersebut sedang di tangani oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Sehingga dia memilih untuk tidak berpolemik secara publik. Menurutnya, sebagai hakim MK, dia “terikat kode etik” yang membatasi komentar publik. Terlebihnya agar tidak menciptakan kegaduhan yang bisa merusak martabat hakim atau melemahkan lembaga. Arsul tidak menutup kemungkinan memberi klarifikasi. Akan tetapi menurut MKMK yang dipimpin I Dewa Gede Palguna, Arsul bisa menggunakan hak jawab di media. Palguna menyatakan bahwa selama pernyataan Arsul terkait isu ijazah bersifat personal. Namun bukan menyebar pernyataan di luar konteks. Kemudian dia di perbolehkan berbicara ke media. Dalam beberapa wawancara dan pernyataan pers, Arsul menunjukkan bahwa dia percaya proses etika mereka.
Terlebihnya adalah jalan yang tepat untuk menguji tuduhan terhadapnya. Dengan menyerahkan isu ini ke MKMK, ia mengisyaratkan bahwa dia menghargai mekanisme internal untuk mengklarifikasi tuduhan akademik secara terstruktur, bukan hanya dalam debat publik. Arsul juga, melalui tindakan dan pernyataannya, mencoba menjaga legitimasi akademik dan profesionalnya. Meski dia tidak secara terbuka menuntut balik ke penuduh lewat jalur kriminal pada saat ini. Kemudian juga mempercayakan masalah ke MKMK menunjukkan bahwa dia tidak mengabaikan tuduhan tersebut. Dan juga yang siap menghadapi proses etik. Responnya ini juga menunjukkan strategi: menjaga citra sebagai hakim yang profesional, bermartabat, dan berintegritas. Maka sambil tetap menghormati mekanisme internal MK. Ia tampak menolak reaksi emosional atau “berperang” lewat media atau polisi, kecuali melalui jalur hukum yang lebih formal dan berprosedur (etik) terlebih dahulu.
Tolak Laporkan Penuduh, Arsul: Tak Mau Perpanjang Kasus Ijazah Palsu
Selain itu, masih membahas Tolak Laporkan Penuduh, Arsul: Tak Mau Perpanjang Kasus Ijazah Palsu. Dan fakta lainnya adalah:
Sikap MKMK (Majelis Kehormatan MK)
Hal satu ini menyampaikan sejumlah poin penting sebagai respons atas laporan Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi ke Bareskrim. Terlebih yang terkait tuduhan ijazah doktor Arsul Sani yang di duga palsu. Palguna menyatakan rasa heran bahwa pelapor memilih jalur polisi (Bareskrim). Sementara menurut MKMK, ada logika institusional yang seharusnya di jalani terlebih dulu. Dia menunjukkan bahwa Arsul Sani menjadi hakim konstitusi lewat proses pemilihan yang melibatkan DPR. Sehingga tudingan legalitas ijazah secara tidak langsung menantang hasil uji kepatutan. Dan juga yang kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan DPR. Lebih lanjut, Palguna mengutip Pasal 20 UU MK, yang menetapkan bahwa hakim konstitusi di pilih secara objektif, transparan, dan akuntabel. Serta mekanisme pemilihan di serahkan pada lembaga yang mencalonkan (seperti DPR). Dalam pandangan MKMK, alih-alih langsung ke polisi, pelapor seharusnya mempertanyakan terlebih dahulu ke DPR terkait keabsahan ijazah.
Karena DPR-lah lembaga yang mencalonkan Arsul sebagai hakim MK. MKMK juga menegaskan bahwa mereka telah mendalami isu tersebut selama hampir satu bulan sejak tuduhan muncul. Namun, Palguna menjelaskan bahwa MKMK belum bisa membeberkan hasil pendalaman itu secara publik. Alasannya, menurut MKMK, adalah menjaga martabat dan kehormatan hakim konstitusi. serta menghindari “mengadili” Arsul di ruang publik atas isu yang belum terbukti secara jelas. Selain itu, berdasarkan peraturan MK, proses etik MKMK memang harus dilakukan secara tertutup. Sehingga detail pemeriksaan tidak di umumkan ke publik. Di sisi kebebasan berpendapat, menyatakan bahwa Arsul Sani boleh menggunakan hak jawab di media untuk menanggapi tudingan tersebut, selama pernyataan yang di sampaikan berkaitan dengan isu “personal”. Tentu perihal soal tuduhan ijazah dan tidak keluar dari konteks tuduhan itu sendiri.
Tolak Laporkan Penuduh, Arsul: Tak Mau Perpanjang Kasus Ijazah Palsu Yang Sempat Menggemparkan
Selanjutnya juga masih membahas Tolak Laporkan Penuduh, Arsul: Tak Mau Perpanjang Kasus Ijazah Palsu Yang Sempat Menggemparkan. Dan fakta lainnya adalah:
Tuntutan Publik
Hal ini yang terhadap polemik ijazah palsu yang menyeret nama Hakim MK Arsul Sani berkembang sebagai bentuk dorongan. Tentunya agar proses klarifikasi berlangsung secara transparan dan tidak berhenti hanya pada pernyataan pribadi. Di ruang publik baik di media sosial maupun forum diskusi. Kemudian muncul desakan agar lembaga-lembaga terkait, terutama MK dan MKMK. Serta membuka informasi yang jelas mengenai validitas ijazah Arsul Sani untuk menghindari spekulasi yang terus membesar. Publik menilai bahwa sebagai pejabat tinggi negara. Terlebih hakim konstitusi, Arsul wajib memberikan contoh integritas akademik yang tidak boleh di ragukan. Selain itu, sebagian publik menilai bahwa sikap Arsul yang memilih tidak melaporkan penuduh ke Bareskrim dapat menimbulkan ruang tafsir yang berkepanjangan.
Mereka mendorong agar proses pembuktian dilakukan secara terbuka. Baik melalui audit akademik, konfirmasi institusi pendidikan, maupun pemeriksaan etik. Tentunya agar isu ini tidak berhenti sebagai opini tanpa dasar. Ada pula kelompok masyarakat yang menuntut. Terlebihnya agar penuduh juga bertanggung jawab terhadap klaim yang mereka lontarkan jika ternyata tidak memiliki bukti kuat. Karena tuduhan terhadap hakim MK di anggap sensitif dan berpotensi mencoreng lembaga peradilan. Di sisi lain, sebagian publik meminta MKMK agar menegakkan standar etik yang sama seperti kasus-kasus lain yang pernah di tangani. Sehingga tidak ada kesan bahwa kasus yang melibatkan tokoh politik atau pejabat tinggi di perlakukan lebih ringan. Desakan ini muncul karena masyarakat menginginkan konsistensi moral dan prosedural dari lembaga etik MK.
Jadi itu dia beberapa fakta mengenai Arsul Sani putuskan tidak ke Bareskrim terkait Isu Ijazah Palsu.