Mengenal Penyakit Difteri Yang Jangan Di Sepelekan
Mengenal Penyakit Difteri Yang Jangan Di Sepelekan

Mengenal Penyakit Difteri Yang Jangan Di Sepelekan

Mengenal Penyakit Difteri Yang Jangan Di Sepelekan

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Mengenal Penyakit Difteri Yang Jangan Di Sepelekan
Mengenal Penyakit Difteri Yang Jangan Di Sepelekan

Mengenal Penyakit Difteri Ialah Penyakit Infeksi Bakteri Serius Yang Di Picu Oleh Corynebacterium Di phtheriae. Penyakit ini sering menyerang saluran pernapasan atas, contohnya hidung dan tenggorokan, serta terkadang bisa memengaruhi kulit. Difteri menjadi ancaman serius, terutama di wilayah dengan cakupan imunisasi rendah. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi yang fatal apabila tidak di obati dengan cepat. Difteri menyebar lewat droplet dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi, serta lewat kontak langsung dengan luka yang terkontaminasi. Gejala utama mencakup sakit tenggorokan, demam, pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Kemudian munculnya selaput abu-abu tebal di tenggorokan atau hidung. Selaput ini bisa menghalangi pernapasan dan membuat sesak napas.

Pada sejumlah kasus, bakteri ini juga menghasilkan racun yang menyebar ke seluruh tubuh, merusak jantung, ginjal, dan sistem saraf. Mengenal Penyakit Difteri pencegahan merupakan kunci utama untuk mengatasi difteri. Vaksin DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) yang di berikan sejak bayi merupakan langkah paling ampuh. Program imunisasi nasional di Indonesia memberikan vaksin ini secara gratis. Namun sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang enggan atau lalai dalam memvaksin anak mereka, sehingga meningkatkan risiko wabah. Selain itu, menjaga kebersihan pribadi dan menghindari kontak dengan penderita juga bisa membantu mencegah penyebaran penyakit ini.

Penyakit ini acap kali di remehkan karena gejalanya yang mirip dengan sakit tenggorokan biasa. Namun, efeknya yang berpotensi mematikan mendorong kesadaran masyarakat supaya tidak mengesampingkan vaksinasi. Pemerintah dan tenaga kesehatan konsisten mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya imunisasi sebagai langkah pencegahan. Difteri tidak hanya masalah individu, namun juga masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini mampu menyebar dengan cepat di komunitas yang tidak di vaksinasi, sehingga mengancam kehidupan banyak orang. Oleh karena itu, difteri harus di tangani secara kolektif lewat peningkatan cakupan vaksinasi, edukasi, dan akses mudah terhadap pelayanan kesehatan.

Lebih Mengenal Penyakit Difteri Dari Sejarahnya

Difteri merupakan penyakit menular yang sudah menjadi momok untuk masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Penyakit ini di sebabkan oleh bakteri Corynebacterium di phtheriae dan populer karena racun yang di hasilkannya. Dalam sejarahnya, di fteri pernah menjadi wabah besar sebelum vaksinasi di temukan dan di aplikasikan secara luas. Penyakit ini pertama kali di dokumentasikan oleh dokter Yunani kuno, Hippocrates, sekitar abad ke-5 SM. Namun, istilah “difteri” baru di perkenalkan saat abad ke-19 oleh seorang dokter Prancis, Pierre Bretonneau.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani di phthera, yang artinya “kulit” atau “membran”. Merujuk pada selaput tebal yang kerap terbentuk di tenggorokan pasien dan menjadi ciri dari penyakit ini. Selama abad ke-18 dan 19, difteri menjadi salah satu pemicu utama kematian pada anak-anak di Eropa dan Amerika. Lebih Mengenal Penyakit Difteri Dari Sejarahnya penemuan penting terjadi saat tahun 1884. Ketika Edwin Klebs dan Friedrich Loeffler berhasil mengetahui bakteri penyebab difteri. Loeffler juga menemukan racun yang di hasilkan bakteri ini, membuka akses untuk pengembangan pengobatan. Penemuan antitoksin difteri oleh Emil von Behring pada tahun 1890 merupakan tonggak sejarah penting.

Antitoksin ini dapat menetralkan racun difteri dan menjadi penanganan utama sampai di temukannya vaksin. Atas jasanya, von Behring memperoleh Hadiah Nobel Kedokteran pertama pada tahun 1901. Pada tahun 1923, Gaston Ramon menyempurnakan vaksin difteri yang pertama. Vaksin ini terbukti mujarab dalam mencegah penyebaran penyakit dan mulai di pakai secara luas pada tahun 1940-an. Penerapan program vaksinasi massal di banyak negara, termasuk Indonesia, berhasil menurunkan angka kasus secara signifikan.

Membahas Bakteri Corynebacterium Di phtheriae Secara Lengkap

Corynebacterium di phtheriae ialah bakteri gram-positif yang juga menjadi penyebab penyakit difteri, sebuah infeksi saluran pernapasan yang serius. Membahas Bakteri Corynebacterium Di phtheriae Secara Lengkap pertama kali di temukan pada akhir abad ke-19. Dan populer karena menghasilkan racun yang tergolong berbahaya. Sebagai agen penyebab difteri, C. di phtheriae bisa menyebabkan sejumlah komplikasi serius, termasuk gagal jantung, kelumpuhan, hingga kematian. Bakteri Corynebacterium di phtheriae berupa batang (bacillus) dan mempunyai ciri khas yang membedakannya dari bakteri lain. C. di phtheriae merupakan bakteri yang tidak bergerak (non-motil) dan tidak membentuk spora. Serta mempunyai bagian sel yang mengandung peptidoglikan tebal, yang menjadikannya tahan terhadap beragam kondisi lingkungan yang keras.

Bakteri ini umumnya di temukan di tenggorokan, hidung, dan terkadang di kulit penderita. Namun bisa juga di temukan di area lain misalnya saluran pencernaan. Salah satu ciri menonjol dari C. di phtheriae ialah kemampuannya untuk menghasilkan toksin atau racun yang di sebut di fterotoksin. Racun ini adalah hasil dari infeksi dengan virus bakteriofage yang memasukkan gen toksin ke dalam bakteri. Di fterotoksin yang di hasilkan bisa menyebar ke seluruh tubuh dan menghasilkan jaringan jantung, saraf, dan ginjal. Kerusakan pada jaringan ini bisa menyebabkan komplikasi berat contohnya gagal jantung, kelumpuhan, dan bahkan kematian jika tidak langsung di tangani.

Penularan Corynebacterium di phtheriae terjadi lewat droplet udara, yang terinfeksi batuk atau bersin, atau melalui interaksi langsung. Oleh karena itu, penyakit ini gampang menyebar di lingkungan yang padat penduduk dan dengan tingkat kebersihan yang rendah. Meskipun penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak, orang dewasa yang tidak di vaksinasi juga berisiko tertular. Jika seseorang terinfeksi, pengobatan difteri mencakup pemberian antitoksin difteri untuk mengurangi efek racun serta antibiotik untuk membasmi bakteri.

Proses Penanganan Difteri

Diagnosis yang cepat dan akurat cukup penting untuk penanganan difteri. Dokter umumnya akan mencurigai difteri berdasarkan gejala klinis yang muncul. Misalnya sakit tenggorokan, demam, pembengkakan kelenjar getah bening, dan timbulnya selaput abu-abu tebal di tenggorokan atau hidung. Tes laboratorium lalu di laksanakan untuk mengonfirmasi diagnosis. Proses Penanganan Difteri yakni dengan mengambil sampel dari tenggorokan atau hidung agar di periksa di laboratorium. Pengujian PCR (Polymerase Chain Reaction) atau kultur bakteri bisa di gunakan dalam mendeteksi keberadaan Corynebacterium di phtheriae.

Salah satu langkah awal dalam penanganan difteri ialah pemberian antitoksin difteri. Antitoksin ini bermaksud agar menetralkan toksin yang di hasilkan oleh bakteri dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada organ tubuh. Pemberian antitoksin harus di laksanakan sesegera mungkin setelah diagnosis di lakukan, bahkan sebelum hasil tes laboratorium keluar. Karena penanganan yang terlambat dapat menaikkan risiko komplikasi serius. Antitoksin di berikan lewat infus intravena (IV) atau penyuntikan ke dalam tubuh pasien, tergantung pada keadaan pasien.

Pasien difteri yang mengalami kesulitan bernapas atau komplikasi serius, misalnya gagal jantung, mungkin membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Pasien wajib di tempatkan dalam isolasi agar mencegah penyebaran bakteri ke orang lain. Untuk mencegah penyebaran penyakit, orang yang berinteraksi erat dengan pasien difteri juga wajib memperoleh pengobatan pencegahan. Selain itu, mereka juga wajib di periksa supaya memastikan bahwa mereka tidak terinfeksi, walaupun tidak menunjukkan gejala. Penanganan difteri memerlukan langkah-langkah cepat dan tepat, mulai dari diagnosis dini sampai pemberian pengobatan yang sesuai. Pencegahan dengan vaksinasi tetap menjadi cara terbaik untuk menghindari infeksi ini. Demikianlah penjelasan mengenai Mengenal Penyakit Difteri.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait