News
Respons Bea Cukai Atas Ancaman Purbaya & Sidak Kejagung
Respons Bea Cukai Atas Ancaman Purbaya & Sidak Kejagung

Respons Bea Cukai Atas Ancaman Purbaya & Sidak Kejagung Yang Tak Ingin Nantinya Mengulang Kembali Sejarah Kelam. Halo para pengamat kebijakan publik dan praktisi kepabeanan yang saya hormati! Lembaga mereka kini tengah berada di bawah sorotan tajam, menghadapi tekanan dari dua arah yang tidak main-main. Di satu sisi, ada desakan keras. Dan bahkan ancaman pembekuan dari sosok tegas sekelas Bapak Purbaya. Di sisi lain, bayangan intimidatif dari Sidak Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengintai. Kemudian juga menandakan adanya indikasi serius yang menuntut akuntabilitas institusi. Keadaan ini menciptakan iklim yang menegangkan. Serta Respons Bea Cukai dengan langkah yang konkret. Namun bukan sekadar janji-janji manis. Mari kita telisik lebih jauh respons strategis yang di ambil pimpinan mereka. Serta yang bertekad kuat agar sejarah kelam. Dan praktik buruk masa lalu tidak terulang kembali. Demi memulihkan kepercayaan publik dan menjaga integritas institusi negara.
Mengenai ulasan tentang Respons Bea Cukai atas ancaman Purbaya & sidak Kejagung telah di lansir sebelumnya oleh kompas.com.
Purbaya Tegaskan Jika Gagal Bisa “Di Bekukan”
Isu pembenahan besar ini kembali mencuat setelah Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Terlebih ia menegaskan bahwa instansi tersebut bisa di bekukan jika gagal melakukan perbaikan menyeluruh dalam kurun waktu satu tahun. Pernyataan itu muncul sebagai bentuk kegelisahan pemerintah terhadap berbagai masalah yang selama ini membayangi mereka. Dan yang mulai dari lemahnya pengawasan, praktik pungutan tidak resmi. Terlebih hingga maraknya celah penyelundupan dan under-invoicing yang merugikan negara. Ultimatum ini bukan sekadar teguran biasa. Akan tetapi sinyal bahwa pemerintah siap mengambil langkah ekstrem. Apabila tata kelola di internal DJBC tidak menunjukkan perubahan nyata. Purbaya menyebut bahwa pembekuan ini bukan hal yang mustahil. Dalam skenario terburuk, sekitar 16.000 pegawai bisa saja di rumahkan. Dan sebagian fungsi strategis kepabeanan berpotensi di alihkan kepada pihak lain. Opsi seperti melibatkan perusahaan inspeksi internasional pada masa lalu.
Respons Bea Cukai Atas Ancaman Purbaya & Sidak Kejagung Dan Takut Mengulang Sejarah Kelam
Kemudian juga masih membahas Respons Bea Cukai Atas Ancaman Purbaya & Sidak Kejagung Dan Takut Mengulang Sejarah Kelam. Dan fakta lainnya adalah:
Jika Di Bekukan, Sekitar 16.000 Pegawai Bisa Di Rumahkan
Pernyataan keras Menteri Keuangan, mengenai kemungkinan pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memicu kegemparan publik. terutama karena ia menegaskan bahwa langkah ekstrem tersebut dapat membuat sekitar 16.000 pegawai Bea Cukai di rumahkan. Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak lagi bisa mentolerir berbagai masalah struktural. Dan juga operasional yang menumpuk selama bertahun-tahun. Terlebihnya mulai dari lemahnya pengawasan di pelabuhan serta bandara, keluhan dunia usaha, dugaan pungutan liar. Serta hingga praktik under-invoicing dan penyelundupan yang terus berulang. Karena itu, ia menyampaikan ultimatum. Dan mereka harus menunjukkan perubahan signifikan dalam waktu satu tahun. Jika tidak, pembekuan lembaga adalah opsi yang benar-benar akan di pertimbangkan. Dalam konteks ini, istilah “di bekukan” tidak sekadar berarti dilakukan evaluasi atau reformasi biasa.
Pembekuan mengacu pada penghentian atau pengurangan drastis fungsi operasional mereka. Tentu yang bisa di ikuti oleh pengalihan sebagian kewenangan kepada entitas lain. Baik lembaga pemerintah maupun pihak independen. Ketika suatu instansi di bekukan, maka seluruh pegawainya akan kehilangan peran, tidak lagi menjalankan tugas. Serta yang berpotensi di nonaktifkan sementara. Karena mereka memiliki sekitar 16.000 ASN aktif. Maka merekalah yang akan langsung terdampak: status pekerjaan mereka bisa di bekukan, di rumahkan. Ataupun bisa yang di rotasi ke instansi lain sesuai kebijakan pemerintah. Ancaman ini mengingatkan publik pada “sejarah kelam” mereka di masa lalu. Pada periode pertengahan 1980-an hingga 1990-an, fungsi pemeriksaan impor di mereka. Terlebih yang memang sempat di alihkan kepada perusahaan inspeksi internasional akibat maraknya penyimpangan internal. Dalam periode itu, banyak pegawai kehilangan kewenangan, ruang kendali negara di persempit. Dan dengan ketergantungan kepada pihak luar meningkat.
‘Cukup Sudah!’ Bos DJBC Tak Ingin Aib Lama Terulang
Selain itu, masih membahas ‘Cukup Sudah!’ Bos DJBC Tak Ingin Aib Lama Terulang. Dan fakta lainnya adalah:
Sebagai Alternatif, Fungsi Kepabeanan Bisa Di Alihkan Kembali Ke Swasta
Sejak akhir November 2025, Purbaya, Menteri Keuangan, kembali menyoroti kenyataan bahwa citra DJBC di masyarakat. terutama terkait integritas dan kinerja di pelabuhan serta bandara. Karena yang di anggap semakin memburuk. Banyak kritik datang dari pelaku usaha, masyarakat, dan kalangan internal bahwa pengawasan kepabeanan belum optimal. Terlebih ada dugaan under-invoicing, penyelundupan barang ilegal, serta praktik pungli yang berulang. Karena itu, Purbaya memberi ultimatum: DJBC punya waktu satu tahun untuk memperbaiki tata kelola, jika tidak berhasil maka instansi bisa di bekukan. Serta fungsi pengawasan serta kepabeanan dapat di alihkan ke swasta. Alternatif pelibatan swasta bukanlah hal baru. Pemerintah Indonesia pernah pada masa pemerintahan Soeharto. Kemudian juga membekukan sebagian fungsi DJBC lewat instrumen resmi (Inpres 1985), dan menyerahkan tugas inspeksi. Serta verifikasi kontribusi impor/ekspor kepada perusahaan inspeksi internasional.
Tentunya Société Générale de Surveillance (SGS) melalui mitra lokal. Dengan model ini, SGS mengambil alih tugas pemeriksaan pra-pengiriman (pre-shipment inspection). Serta penilaian nilai barang, dan verifikasi dokumentasi impor fungsi yang dulu berada di tangan DJBC. Menurut Purbaya, opsi itu tetap tersedia: bila reformasi internal gagal, skema lama bisa di aktifkan kembali. Artinya, sebagian besar kewenangan kepabeanan. Tentunya seperti pemeriksaan barang impor/ekspor, penilaian nilai pabean, pengawasan muatan. Dan juga penerbitan persetujuan pelabuhan. Maka akan di serahkan ke perusahaan swasta/asing seperti SGS. Namun bukan di jalankan oleh aparat negara (DJBC). Hal ini secara otomatis menjadikan pegawai DJBC sekitar 16.000 ASN menurut pemerintah berada di ujung tanduk. Karena peran mereka bisa di hapus atau di pangkas. Opsi ini muncul lantaran pemerintah menilai bahwa dalam dekade terakhir upaya reformasi internal. Namun belum cukup menjawab permasalahan struktural.
‘Cukup Sudah!’ Bos DJBC Tak Ingin Aib Lama Terulang Dan Segera Berbenah
Selanjutnya juga masih membahas ‘Cukup Sudah!’ Bos DJBC Tak Ingin Aib Lama Terulang Dan Segera Berbenah. Dan fakta lainnya adalah:
DJBC Pernah Di Bekukan Fungsinya Di Periode 1985–1995
Pada pertengahan tahun 1980-an, Indonesia memasuki salah satu fase reformasi kepabeanan paling drastis dalam sejarahnya. Pada masa itu, sistem mereka di anggap sangat bermasalah: proses impor lambat, praktik pungli marak. Kemudian kebocoran penerimaan negara tinggi, dan penyelundupan berlangsung tanpa kendali. Kondisi ini membuat pemerintah saat itu menilai bahwa DJBC tidak lagi mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif. Karena itu, pada tahun 1985, Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan ekstrem melalui Instruksi Presiden yang secara de facto “membekukan”. Terlebihnya sebagian besar fungsi DJBC, terutama yang berkaitan dengan pemeriksaan barang impor. Banyak kewenangan strategis mereka. Terlebihnya seperti verifikasi dokumen, pengecekan nilai barang, pemeriksaan fisik. Tentunya hingga persetujuan impo. kemudian di alihkan ke perusahaan inspeksi internasional.
Model ini di kenal sebagai Pre-Shipment Inspection (PSI), di mana pemeriksaan dilakukan di luar negeri oleh SGS sebelum barang di kirim ke Indonesia. Pemerintah berharap langkah ini bisa menghilangkan celah korupsi, mempercepat arus impor. Dan mencegah kebocoran pendapatan negara yang jumlahnya saat itu di nilai sangat besar. Akibat kebijakan tersebut, selama hampir 10 tahun (1985–1995) DJBC kehilangan banyak kewenangan penting. Serta yang biasanya di miliki otoritas kepabeanan negara. Pegawai tetap ada, tetapi peran mereka sangat terbatas, lebih sebagai pendukung administrasi. Dan penegakan kebijakan yang sudah di verifikasi oleh pihak swasta. Meskipun kebijakan ini mampu memperbaiki sebagian aspek transparansi dan efisiensi. Kemudian skema PSI tetap menuai kritik: biaya pemeriksaan tinggi karena di bebankan kepada importir, kontrol negara menjadi lemah. Dan ketergantungan pada perusahaan asing meningkat.
Jadi itu dia beberapa fakta tentang ancaman Purbaya dan sidak Kejagung dan Respons Bea Cukai.