News

Penyelenggaraan UN Kembali Menjadi Perbincangan Hangat
Penyelenggaraan UN Kembali Menjadi Perbincangan Hangat

Penyelenggaraan UN Kembali Menjadi Topik Perbincangan Hangat Di Indonesia Pada Tahun 2025 Setelah Sempat Di Tiadakan Saat Tahun 2021. Kemudian di gantikan oleh Asesmen Nasional (AN). Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan sistem evaluasi baru yang akan menggantikan AN. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa sistem baru ini akan di perkenalkan dengan format yang berbeda. Dengan pelaksanaan untuk jenjang SMA/SMK/MA di laksanakan pada November 2025.
Keputusan ini menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian pihak menyokong langkah pemerintah dengan harapan sistem evaluasi baru bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan memberikan penilaian yang cukup komprehensif. Namun, tidak sedikit yang mengkhawatirkan peluang tekanan psikologis yang bisa di alami oleh siswa. Mengingat pengalaman masa lalu di mana Penyelenggaraan UN Kembali menjadi sumber stres dan kecemasan. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengingatkan supaya pemerintah memastikan bahwa sistem evaluasi yang baru tidak mengulangi kelemahan UN sebelumnya. Seperti penekanan berlebihan dalam aspek kognitif dan mengesampingkan aspek afektif serta psikomotorik.
Menanggapi ketakutan tersebut, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa sistem evaluasi yang baru. Di rancang untuk tidak menjadi penentu kelulusan siswa, melainkan sebagai alat untuk melihat kemampuan dan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Ia juga menekankan vitalnya sosialisasi dan pelatihan bagi para pengajar. Serta pemangku kepentingan lainnya supaya implementasi sistem ini bisa berjalan efektif dan sesuai dengan tujuan yang di inginkan. Dengan demikian, di harapkan sistem evaluasi yang baru bisa menjadi instrumen yang lebih adil dan komprehensif dalam menilai kemampuan siswa.
Memilik Penyelenggaraan UN Kembali Dari Sejarahnya
Ujian Nasional (UN) di Indonesia mempunyai sejarah panjang yang menggambarkan dinamika sistem evaluasi pendidikan di tanah air. Sejak pertama kali di perkenalkan saat tahun 1950, UN telah mengalami sejumlah perubahan nama dan format. Pada periode 1950 hingga 1964, evaluasi akhir pendidikan di kenal dengan nama “Ujian Penghabisan”. Di mana materi ujian di susun oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Selanjutnya, antara tahun 1965 hingga 1971, ujian ini berganti nama menjadi “Ujian Negara”. Perubahan tetap berlanjut, Memilik Penyelenggaraan UN Kembali Dari Sejarahnya pada tahun 1972 hingga 1979, evaluasi tersebut di sebut “Ujian Sekolah”. Dengan penyusunan soal yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah masing-masing.
Memasuki tahun 1980 hingga 2002, mekanisme evaluasi kembali mengalami penyesuaian dengan di perkenalkannya “Evaluasi Belajar Tahap Akhir” (EBTA) dan EBTANAS. Pada masa ini, evaluasi di lakukan secara nasional dengan standar yang di tetapkan oleh pemerintah pusat. Tahun 2003 menandai perubahan signifikan dengan di perkenalkannya UAN, yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama menjadi “Ujian Nasional” (UN). UN menjadi penentu kelulusan siswa dan di laksanakan secara serentak di seluruh Indonesia.
Namun, seiring berjalannya waktu, UN menuai beragam kritik. Terutama mengenai tekanan psikologis yang di rasakan siswa dan isu ketidakadilan dalam sistem evaluasi. Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2021, pemerintah memutuskan supaya menggantikan UN dengan “Asesmen Nasional” (AN). Yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AN di desain untuk menggambar kualitas pendidikan tanpa memberikan tekanan langsung kepada siswa. Namun, pada tahun 2025, muncul wacana untuk mengkaji ulang pelaksanaan UN. Menteri Pendidikan, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan sistem evaluasi belajar baru yang belum pernah di terapkan sebelumnya.
Sempat Memicu Bunuh Diri
Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) di Indonesia sudah menjadi sorotan tajam akibat sejumlah kasus tragis. Di mana siswa memutuskan mengakhiri hidupnya karena tekanan yang di picu oleh ujian tersebut. Kasus-kasus Sempat Memicu Bunuh Diri ini menimbulkan keprihatinan mendalam tentang dampak psikologis UN terhadap peserta didik. Pada tahun 2013, seorang siswi SMP di Depok di temukan tewas gantung diri di kamar tidurnya. Di duga, tindakan nekat ini di picu oleh ketakutannya tidak lulus UN.
Pada tahun 2017, pelajar kelas XII SMK Negeri Di Sumut, di laporkan bunuh diri. Setelah sebelumnya berjumpa dengan gurunya yang di perkirakan membahas hasil ujian. Kasus-kasus tersebut mencerminkan tekanan psikologis yang luar biasa pada siswa akibat UN. Rasa takut akan kegagalan, malu, dan tekanan dari lingkungan sekitar bisa memicu stres berat, depresi. Hingga keputusan tragis untuk mengakhiri hidup. Fenomena ini memperlihatkan bahwa UN tidak sekedar menjadi evaluasi akademis, namun juga menjadi sumber tekanan mental untuk sebagian siswa. Menanggapi kasus-kasus ini, sejumlah pihak mendesak evaluasi ulang terhadap pelaksanaan UN. Mereka berpendapat bahwa sistem evaluasi yang ada perlu mempertimbangkan kesehatan mental siswa dan mencari metode alternatif yang lebih humanis.
Kasus-kasus ini memicu keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat, pendidik, dan pemerhati pendidikan. Banyak yang beranggapan bahwa tekanan berlebihan dari UN bisa menyebabkan depresi. Dan depresi pada siswa yang dalam sejumlah kasus ekstrem, berakhir pada perbuatan bunuh diri. Kritik terhadap UN meliputi penekanan berlebihan pada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan psikomotorik kerap terabaikan. Menanggapi ketakutan ini, pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan di desak supaya meninjau kembali sistem evaluasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mengembangkan cara penilaian yang lebih komprehensif dan humanis, yang bukan sekedar mengukur kemampuan akademis. Tetapi juga memperhatikan kesejahteraan mental dan emosional siswa.
Perencanaan Yang Di Buat Pemerintah Tahun 2025 Ini
Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia lewat Kemendikdasmen berencana untuk menerapkan sistem evaluasi pendidikan yang baru, menggantikan format UN sebelumnya. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyebutkan bahwa istilah “ujian” akan di hapus. Dengan demikian, siswa kelas 12 yang berencana meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dapat memaksimalkan hasil evaluasi. Selain itu, pemerintah menegaskan bahwa mekanisme pengganti ujian telah di selesaikan dan akan segera di umumkan dalam waktu dekat. Menyusul pengumuman terkait regulasi baru proses penerimaan peserta didik baru.
Perubahan ini menggambarkan upaya pemerintah untuk membuat sistem evaluasi yang lebih adaptif dan sesuai dengan kebutuhan zaman, serta mengurangi tekanan. Dengan pendekatan yang lebih formatif, di harapkan evaluasi ini bukan sekedar mengukur kemampuan kognitif. Tetapi juga aspek lain misalnya keterampilan dan karakter siswa, sehingga memberikan gambaran yang lebih holistik mengenai kompetensi peserta didik. Konsep evaluasi baru ini masih dalam proses finalisasi dan akan segera di umumkan oleh Kemendikdasmen. Pemerintah menekankan Perencanaan Yang Di Buat Pemerintah Tahun 2025 Ini akan berbeda dari UN sebelumnya.
Dengan pendekatan yang lebih formatif dan adaptif berdasarkan pada perkembangan zaman. Selain itu, penerapan sistem baru ini akan di laksanakan secara bertahap. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, memaparkan bahwa pemilihan waktu. Pelaksanaan pada November di tujukan supaya hasil evaluasi di lihat oleh perguruan tinggi. Selain itu, perubahan ini di harapkan bisa mengurangi tekanan yang selama ini di alami oleh siswa terkait UN. Hal ini masih dalam tahap pembicaraan serius dengan sejumlah pihak. Semoga hasilnya akan baik untuk semua pihak. Demikianlah penjelasan tentang Penyelenggaraan UN Kembali.